Laman

Rabu, 17 Juni 2020

ADA KONFLIK DI PATUNG SEMAR

ADA KONFLIK DI PATUNG SEMAR
By Semacca Andanant

Wajar saja warga net dari etnik lampung geram dan teriak-teriak di media sosial minta dirobohkan atas berdirinya sebuah patung semar di tiyuh Toto mulyo, yang mana patung itu bukan  merupakan simbol atau tokoh dari daerah yang bernama Lampung. Karena mereka merasa miris dan prihatin atas budaya dan peradaban lampung yang ada sekarang ini tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah. Alih-alih memberi perhatian lebih terhadap kearifan lokal yang ada malah pemerintah (Kab. Tubaba) dengan alasan keterbukaan mendukung berdirinya sebuah patung dari tokoh pewayangan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan peradaban lampung. Masyarakat lampung merasa terluka sekali karena ruang gerak budayanya akan ikut terkavling oleh para pendatang bukan hanya tanah ulayatnya.

Ada beberapa alasan yang selalu dilontarkan oleh beberapa oknum untuk membungkam protes warga diantaranya; 
1. Negara kita adalah NKRI harga mati dan berbhineka tunggal ika
2. Masyarakat lampung harus terbuka dan membuka diri.

Sebenarnya masyarakat lampung tidak butuh diajari tentang NKRI harga mati dan berbhineka tunggal ika. Mereka lebih tahu dan telah mengadopsinya dari dulu. Kita bisa lihat ada berapa banyak suku bangsa yang hidup dan menetap di bumi ruwa jurai? Mereka hidup berdampingan secara harmonis dan dinamis, hampir saja tidak ada terjadi konflik diantara mereka. Belum lagi para tokoh, berapa banyak yang mengabdi dan berbakti terhadap NKRI.

Meskipun pada awalnya etnis lampung mayoritas dan hampir 100% menempati tanah lampung, tetapi sekarang mereka hanya beberapa prosentase saja dari 8 jutaan jiwa penduduk lampung. Mereka menjadi minoritas setelah didatangkan jutaan penduduk dari pulau jawa dan bali dalam program transmigrasi. Sungguh ironi memang, mereka sekarang disamping menjadi masyarakat minoritas di negeri sendiri ditambah lagi mereka termarginalkan oleh keadaan.

Masyarakat lampung sebenarnya ingin mendapat perhatian dari pemerintah. Mendapat porsi yang layak dalam mengisi kemerdekaan. Mereka ingin kebijakan pemerintah menyentuh kehidupan mereka. Karena selama ini kebijakan pembangunan selalu yang menjadi sasaran adalah desa-desa transmigrasi. Mulai dari program desa tertinggal, kota terpadu, hutan rakyat, dsb itu semua hanya diperuntukkan bagi desa-desa pendatang. Belum lagi kebijakan pembangunan infrastruktur, ekonomi, kesehatan, budaya dan pendidikan semua tersentra di daerah pendatang. Sementara tiyuh-tiyuh tuha hulun lampung sama sekali tidak mendapat perhatian. Dan hanya menjadi sebuah "umbulan" tuha yang sepi dari hiruk pikuk pembangunan. Dan orang-orang hulun lampung menjadi pengemis dan penonton dirumahnya sendiri. Sangat ironi memang tetapi ini kenyataannya. Jadi tidak salah kalau ada masyarakat hulun lampung beranggapan nasip mereka tak lebih seperti halnya rakyat Palestina, hanya beda-beda tipis. Tanah ulayatnya habis dijadikan area transmigrasi sementara kehidupan mereka terabaikan tanpa konvensasi.

Hulun lampung sangat welcome terhadap para pendatang. Dengan "piil pesenggiri" nengah-nyampur dan nemuy nyimah mereka sangat menghormati dan terbuka terhadap tamu atau pendatang. Tapi sayang keterbukaan hulun lampung tidak cukup bagi para pendatang. Para pendatang tidak mau berbaur apa lagi mengambil bagian dalam mengaplikasikan kearifan lokal. Banyak nama-nama daerah atau kampung yang dirubah dan diganti dengan nama daerah asal. Belum lagi para pendatang enggan belajar bahasa dan budaya hulun lampung.

Orang-orang etnis lampung merasa terhimpit, ruang gerak kehidupannya tidak memadai dalam mengapreasiasikan hidupnya. Apalagi kalau ada pelaku kriminalitas selalu dikaitkan dengan suku lampung, seakan-akan hulun lampung tidak ada yang benar. Selagi kita tidak ada perhatian dan memandang masyarakat hulun lampung dengan sebelah mata, jangan harap tercipta kehidupan yang harmonis. Akan terjadi suatu saat konflik diantara hulun lampung dan pendatang. Dan bila mana konflik terjadi selalu seruan yang lantang yang keluar dari berbagai instrumen adalah KITA SEBANGSA DAN SETANAH AIR dan KITA SEIMAN DAN SEAGAMA. Tapi adakah yang menyerukan selogan itu ketika kemiskinan dan ketertinggalan melanda pada hulun lampung? Yang ada hulun lampung hanya menjadi bahan cercaan dan tertawaan. Sungguh malang nasipmu Lappung.

Tabik.
Jakarta, 06/06/20
Poto: Eengryans Buway Selembasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar