HULUN LAMPUNG BUWAYAK
By Semacca Andanant
Antusias masyarakat etnik Lampung dalam melestarikan bahasa dan sastra terlihat sekali diberbagai media sosial. Meskipun tidak ada media khusus yang mewadahi mereka dalam menuangkan inspirasi karyanya. Mereka hanya sekedar ingin menyelamatkan warisan moyang mereka yang amat tinggi dan tak ternilai harganya. Mereka menyadari bahwa bahasa dan sastra merupakan jati diri masyarakat lampung yang perlu dilestarikan, bila tidak maka lambat laun akan punah digerus kemajuan jaman dan modernisasi bahasa dan sastra asing. Karena itu mereka sering sekali memposting memperkenalkan kepada netizen di berbagai grup medsos semisal FB dan WA. Walaupun hanya sekedar status dimedia sosial mereka tetap gigih ingin melestarikan.
Ada beberapa sastra yang mereka geluti dalam memposting setatus di grup media sosial diantaranya; Bandung, Hahiwang, Wawancan, Pisaan, Panggoh, Adi-adi/Dadi, Pepancur, Paradini, ataupun Segata yang kesemuanya itu berupa wayak atau sajak.
Dari berbagai postingan itu ada yang benar-benar mengerti dan memahami sastra itu sendiri, ada juga yang hanya sekedar iseng memenuhi pakem yang ada. Sehingga banyak hasil karya dari mereka tidak nampak hidup atau memberi kesan yang indah karena tidak memiliki ruh yang mampu memberikan spirit hidup didalam karya itu sendiri. Tidak heran dari beberapa karya itu terkesan asal-asalan meskipun sudah tertata rapi dan memenuhi pakem sastra yang ada. Ini disebabkan karena diksi atau pemilihan pemakaian kata yang digunakan hanya sekedar memenuhi pakem atau kaidah sastra. Ketidak-tepatan pemilihan kata inilah yang paling utama menyebabkan karya sastra terkesan asal-asalan.
Selain dari itu juga, ada satu kesan dari hasil karya teman-teman kita di media sosial, mereka menganggap wayak lampung disamakan dengan pantun orang betawi ataupun pantun melayu. Sehingga mereka menggunakan sampiran semau-maunya tanpa memilih kata-kata yang tepat dan indah untuk memberi ruh supaya wayak itu memiliki spirit hidup dan akhirnya akan terasa indah.
Dan satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam membuat karya sastra dalam wayak lampung adalah jumlah suku kata dalam satu bait itu terdiri dari tujuh sampai delapan suku kata. Apabila kurang atau lebih maka akan terlihat janggal. Ini akan menyebabkan wayak yang kita buat terlihat kurang indah dan janggal terkesan memaksakan diri dan kaku ketika kita melapadz atau melantunkannya.
Dilihat dari banyaknya susunan bait, wayak dapat dikelompokkan menjadi;
1. Wayak tampang/bait ruwa
-pak huma pak sapu
pak jamma mapu-mapu
-sekebuk dagang cambay
hurik banguk mati bangkay
-cabi-cabi mendira-mendira
puwari-puwari jadi riya
Sebenarnya ini sama dengan wayak bait pak hanya saja kata atau kalimatnya pendek-pendek sehingga terkesan ada dua bait.
2.wayak tampang/bait pak; ngedok lima macom jama rumus;
ka. a.a.a.a
Jiwaku jiwa lampung
Rah dagingku juga lampung
Pesenggiri ku junjung
Jadido lampung agung
ga. a.b.c.b
Dija ram jama-jama
Nyenang-senangko hati
Haga api pusing-pusing
Lungah cadang goh hati
nga. a.a.b.a
Dija inday sunyinni
Ram ngaji dalih nguji
Hurik delom duniya
Goh pedom buhanipi
pa. a.b.a.b
Way lunik di pumatang
Pancuran bulung awi
Myak midang layin senang
Ngelalitawko hati
ba. a.a.b.b
Ibarat kinjuk lapah
Duniya rang ram singgah
Ki ya radu tihabu
Urung mak haga laju
Wayak tampang/bait pak yang lebih populer dan sering dipakai adalah yang rumus abab karena terkesan lebih indah, mudah dan enak untuk dibaca.
3. Wayak tampang/bait nom, jama rumus a.b.c.a.b.c
Wayak semacam ini banyak berkembang di masyarakat pepadun yaitu berupa panggeh/panggoh.
Nunyay nyulukkon arung
Hak adat kebuwayan
Pengakuk tutuk isi
Nuban pagun tirunjung
Subing nunggu warisan
Unyi si pemapah wari
4. Wayak tampang/bait walu, jama rumus a.a.b.b.c.c.dd. Contoh;
Ngucap bismillah
Di awal kisah
Ngedepi meti
Ram silaturahmi
Panas ngebiyan
Ram pepida rawan
Memuga mansa
Rido say kuwasa
Ada harapan besar yang tersirat dari teman-teman yang selalu giat memasyarakatkan sastra dan bahasa lampung. Mereka ingin suatu masa sastra dan bahasa lampung mencapai kejayaannya. Mendapat tempat yang mulia ditengah masyarakat. Dan hulun lampung memberikan perhatian lebih terhadap sastra dan bahasanya. Karena tidak dipungkiri masyarakat kita mulai enggan mengajarkan sesuatu hal tentang adat budaya dan bahasanya kepada generasi muda. Ditambah lagi kurangnya perhatian pemerintah terhadap bahasa dan sastra lampung. Mereka tidak sadar kalau bahasa itu merupakan salah satu dari identitas dan jati dirinya.
Mulai dari diri kita sendiri, mari kita lestarikan sastra dan bahasa lampung. Kita ajarkan kepada anak-anak kita dalam keluarga meski hanya sepatah dua patah kata. Selalu dan selalu meski hidup diperkotaan lambat laun akhirnya mereka akan mengerti dan bisa cawa lampung.
Mak ganta kapan lagi
Ki mak ram sapa kidah
Mawat ki tiyan say jak udi
Say menyin tutuk ngijah
Tabik.
Jakarta, 22 juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar