MASJID KITA
By Semacca Andanant
MASJID pada masa awalnya bukan hanya tempat melakukan ritual peribadatan sholat saja seperti saat sekarang. Jauh sebelum itu masjid merupakan tempat berbagai interaksi masyarakat. Tempat menimba ilmu, belajar ngaji, perhelatan musyawarah, atur strategi perang bahkan tempat perputaran roda perekonomian.
Untuk mengembalikan fungsi masjid dan juga untuk memakmurkannya, mendidik para remaja untuk cinta mesjid sejak dini, merupakan tantangan besar bagi kita selaku orang tua muslim. Bukan tidak mungkin, di jaman serba android ini orang-orang akan semakin malas mengunjungi masjid. Jangankan anak-anak remaja, orang dewasa atau tua juga sungkan ke masjid untuk saat ini. Mereka melihat masjid tak lebih hanya tempat melakukan peribadatan sholat, tak lebih dari itu. Sedangkan sholat masih bisa dilakukan dirumah, tidak harus berjamaah di masjid meskipun berjamaah lebih diutamakan. Ini perlu dicatat oleh kita semua.
Menengok kebelakang awal berdirinya sebuah masjid dijaman sekarang. Pada awal masjid akan dibangun, sekelompok warga atau jamaah membuat kepanitiaan pembangunan masjid. Setelah terbentuk panitia pembangunan masjid, siapa yang menjadi ketua, bendahara, sekretaris dan juga penasehat. Lalu dimulailah penghimpunan dana dari jamaah atau warga. Mencari donatur yang memiliki harta atau kekayaan yang berlebih untuk berinfaq dalam pembangunan masjid. Dan bahkan memohon bantuan dipinggir jalan didepan masjid yang akan dibangun.
Menurut beberapa sumber yang pernah bercakap-cakap bahwa sumbangsih dari masyarakat melalui penghimpunan dana dari pinggir jalan sangat dan amatlah fantastis. Lebih dari 50%-70% dana pembangunan sebuah masjid diperoleh dari bantuan yang didapat dari pinggir jalan. Ini berarti masyarakat umum lebih berperan dalam pembangunan sebuah masjid untuk saat ini. Berdasarkan ini juga berarti bisa dikatakan bahwa kepemilikan sebuah masjid adalah milik masyarakat umum meski pada kenyataannya adalah milik masyarakat disebuah pemukiman.
Melihat peran serta masyarakat atau ummat pada awal pembangunan masjid sangatlah tinggi. Tak melihat seberapa banyak mereka memiliki harta atau uang mereka selalu bersemangat memberikan kontribusi, bergotong-royong untuk pembangunan sebuah masjid. Dipikiran mereka yang ada hanya bagaimana caranya agar masjid yang dibangun segera berdiri meski tak megah. Dan nantinya masjid menjadi simbol dan perisai dalam kehidupan mereka.
Setelah masjid berdiri megah dengan berbagai ornamen dan fasilitas yang super wah. Ada kamar mandi bershower, toilet jongkok, toilet duduk, tempat wudhu, ruang ber-AC dan lain sebagainya. Lalu masjid dikelola "buka tutup" oleh pengurus masjid. Dibuka ketika beberapa menit menjelang azan penanda waktu sholat sudah tiba dan ditutup setelah selesai pelaksanaan ibadah sholat. Setelah itu masjid perlahan mulai sepi dari aktifitas. Tidak ada yang i'tikaf atau diam mencari ketenangan didalam masjid karena pintu masjid sudah ditutup atau dikunci. Tidak ada remaja yang bercangkrama, bercerita sambil tertawa atau sekedar mengobrol santai. Hal-hal seperti inilah salah satu penyebab kenapa masjid menjadi sepi atau tidak makmur. Ditambah lagi pungutan biaya parkir untuk pengunjung yang membawa kendaraan. Belum lagi berbagai aturan masjid yang mengekang para pengunjung menjadi tidak nyaman. Entah apa alasannya, masjid yang secara umum milik ummat terkesan menjadi milik pribadi atau sekelompok orang.
Karena masjid tidak lagi menyediakan rasa nyaman untuk tempat pelarian para pencari ketenangan baik remaja ataupun orang dewasa. Pantaslah kalau secara kasat mata masjid mulai nampak sepi. Masjid terkesan seolah-olah tempat suci yang tidak boleh dikunjungi oleh orang-orang pendosa, orang-orang putus asa dan juga orang-orang yang termarjinalkan. Sehingga orang-orang itu menjauh dan lebih jauh dari mesjid. Jangan salahkan bila mereka lebih merasa nyaman mencari ketenangan ditempat lain, sunyi dan intim pada ponselnya meski hidup ini adalah realita.
Anak remaja atau orang-orang muda biasanya suka kumpul-kumpul bila ada makanan atau minuman, apalagi kalau grastis mereka senang sekali. Meski makanan tak bernilai atau tak seberapa ataupun tak ada makanan dan minuman sama sekali, sebetulnya bagi meraka tak menjadi masalah. Yang penting bagi mereka bisa tertawa dan bercerita dengan sesama tanpa ada tekanan atau larangan. Selagi dalam kewajaran tentu tidak masalah. Dalam kondisi seperti ini sebenarnya para pendakwah atau pengurus masjid bisa memanfaatkan kesempatan untuk menanamkan cinta serta memakmurkan masjid. Sesekali atau juga sering bolehlah menciptakan suasana atau kegiatan yang melibatkan remaja dan orang muda. Percayakan kepada mereka, biarkan mereka bekerja mengelola acara-acara tersebut dan orang tua atau pengurus masjid cukup memantau, mengarahkan dan menikmati suguhan dari mereka. Karena pada dasarnya orang muda atau remaja lebih cendrung ingin jadi pelaku ketimbang jadi penonton atau penikmat.
Kalau awal mula pembangunan sebuah masjid mengharapkan perhatian dari masyarakat atau ummat. Coba sekarang dibalik setelah masjid berdiri megah, masjidlah yang menjadi pelayan ummat. Menjadi motor penggerak memperhatikan ummat. Anak-anak yatim piatu, kaum dhuafa, fakir miskin dan keluarga tak mampu menjadi sasaran target perhatian pengelola masjid. Keluaraga yang mendapat musibah, baik musibah bencana alam ataupun karena takdir, beri mereka perhatian. Santuni mereka. Jangan hanya menungu bulan muharam dan bulan ramadhan baru mendapat santunan. Tetapi berikan perhatian kita kapan mereka butuh meskipun mereka tidak meminta. Selalu jalin tali silaturahmi antara masjid dan ummat. Jangan hanya terkesan ketika masjid butuh dana baru ada kunjungan silaturahmi dari petugas masjid yang diselipi proporsal. Jangan juga keluarga yang kena musibah kematian dipersulit dalam mengurus jenazahnya. Tapi tunjukkan bahwa masalah itu adalah masalah fardhu kifayyah, kewajiban ummat. Hindari apa yang kita lakukan seolah-olah berbayar sehingga keluarga yang kena musibah tambah berat beban hidupnya. Tetapi tunjukkanlah apa yang dilakukan oleh pengurus masjid itu benar-benar mengemban misi al Quran, fardhu kifayyah, dalam keikhlasan hati karena Alloh.
Dengan demikian mudah-mudahan masjid kita semakin makmur. Bukan hanya sebatas selogan ataupun ungkapan belaka. Tetapi pada kenyataannya. Para remaja cinta akan masjid dan para orang tua semakin kokoh imannya. Dan masjid benar-benar menjadi simbol dan perisai dalam kehidupan ummat. Kita berharap, mudah-mudahan para pengurus masjid lebih profesional dalam pengelolaan masjid. Tidak menjadikan masjid sebagai tempat yang angker bagi pencari ketenangan batin. Dan tidak juga menjadikan masjid sebagai tempat yang suci yang tidak boleh disentuh bagi para pendosa dan pemutus-asa.
Jakarta, 18 feb 2023