BAHASA LAMPUNGKU
By: Semacca Andanant
Aku hanya ingin bercerita tentang bahasa yang ku pakai dalam setiap tulisanku yang memakai bahasa lampung. Dan menjadi sebuah harapan besar untuk kemajuan bahasa ina [bahasa ibu], yaitu bahasa lampung. Karena begitu beragam dialek dan logat yang ada dalam bahasa lampung, sulit rasanya untuk mendapat satu konsep "sepakat" dalam menuangkan sebuah unek-unek dalam bentuk tulisan atau literasi berhuruf latin atau huruf lepas. Karena masing-masing duduk dan bertahan pada egonya sendiri-sendiri baik cara penulisan maupun pelapazannya. Yang dari keruy, liwa, ranaw dan komering menulis dengan cara dan logat dia sendiri, begitu juga yang dari semaka, limaw, way handak, sekampung, abung dan lainnya mereka menulis dan menggunakan dialek dan logat mereka sendiri.
Semestinya para pakar, penulis dan yang memiliki kemampuan serta kapasitas mulai memikirkan hal ini. Entah berupa langkah kongkrit ataupun hanya sebuah rintisan yang dimulai dari diri sendiri. Tujuannya tidak lain atau tidak bukan hanya untuk melestarikan dan memajukan bahasa lampung itu sendiri. Sehingga apa yang ditulis dan yang ingin disampaikan ke khalayak ramai mudah dimengerti dan diterima oleh semua klan suku lampung baik yang ada di provinsi lampung sendiri maupun yang ada di provinsi sumsel, bengkulu dan banten.
Pada dasarnya bahasa lampung meskipun banyak subdialeknya adalah sama. Hanya saja diantara subdialek itu ada yang lebih dominan menggunakan hurup vokal a dan ada juga yang lebih dominan menggunakan hurup vokal o. Ada yang dominan menggunakan hurup vokal i dan ada juga yang lebih dominan menggunakan hurup vokal ē. Masing-masing memiliki ciri dan kekhasan masing-masing. Di satu sisi ada subdialek yang suka memendekkan kata dan yang satu lagi lebih ke apa adanya sesuai kata dasar awalnya.
Yang tidak kalah menarik lagi adalah ada subdialek yang dalam kosa katanya tidak mengenal hurup o (o). Semua menjadi hurup a (a). Seperti kata: lapah di bingi kelom, nerumpak undom ngisi serom ketanom halom. Akan menjadi: lapah di bingi kelam, nerumpak undam ngisi seram ketanam halam. Ini adanya di bagian barat daya daerah lampung. Ada juga subdialek yang hurup konsannya berupa hurup b atau d yang letaknya ditengah kata dasar tidak bisa disebut sehingga menjadi dobel hurup konsonan. Misal kata: panday berubah menjadi pannay, mandi menjadi manni, bumbang menjadi bummang, dsb. Ini adanya dibagian tenggara daerah lampung.
Masih banyak lagi keunikan dan kekhasan subdialek bahasa lampung yang lainnya, baik dibelahan bumi lampung ataupun di luar daerah lampung. Namun secara garis besar semua masih dalam keterkaitan dan kesamaan antara satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini, menuangkan berbagai ide dan unek-unek yang ada dalam imajinasi dan pikiran kita yang menggunakan bahasa lampung beraksara hurup latin/lepas hendaknya yang menjadi acuan adalah had lampung atau hurup "kaganga" dan bahasa lampung itu sendiri. Jangan kita mengkait-kaitkan dengan bahasa lain di luar bahasa lampung. Karena bila dipaksakan kita nantinya akan terjebak dalam perangkap perseteruan yang tiada akhir. Dan yang akan menjadi korban adalah bahasa lampung itu sendiri. Dia akan mengalami keterlambatan perkembangan dan tidak menutup kemungkinan mengalami kepunahan.
Dari sembilan belas kelabay huruf "kaganga" berikut anak suratnya, sebetulnya sudah cukup memenuhi apa yang menjadi kebutuhan berliterasi dalam bahasa lampung. Tidak perlu latah apa lagi merasa bahwa aksara kaganga sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan berliterasi sehingga ada keinginan menambah hurup aksara. Biar seperti abjad bahasa arab atau abjad huruf latin ataupun bahasa china. Sebenarnya bahasa lampung tidak mengenal hurup f, q, v, x, z atau perpaduan dua seperti seperti hurup latin arab. Semua terserap dalam lidah bahasa lampung dalam hurup kaganga. Jadi tidak benar kalau ada orang menulis dalam bahasa lampung tetapi menggunakan huruf f, q, v, x dan z. Dalam hal ini saya ingin tekankan, bukan orang lampung tidak bisa melafalkannya tetapi lidah bahasa lampung tidak memakai ataupun menggunakan hurup itu selain yang ada pada sembilan belas huruf kaganga. Ini terbukti berabad-abad hurup kaganga itu bertahan dengan jumlah huruf sebanyak itu.
Ada beberapa hal yang jadi pertimbangan atau acuan saya kalau menulis dalam bahasa lampung:
A. Semua bahasa serepan dari luar bahasa lampung terlebih dahulu dilampungkan sesuai dengan lidah bahasa lampung. Dalam hal ini jelas mengacu ke abjad kaganga dan pemakaian huruf vokal bahasa lampung.
Contoh kata:
1. Mahap, bukan mahaf
2. Positip, bukan positif
3. Mutuwalisma, bukan mutualisme
4. Sat, bukan zat
5. Dsb.
B. Aksara kaganga tunduk terhadap bunyi begitu juga dengan huruf latinnya harus mengacu kepada huruf kaganga. Jadi tidak benar jika kita menulis dalam bahasa lampung mengacu pada ejaan EYD dalam bahasa indonesia atau ejaan huruf latin arab. Dalam hal ini juga penulisan huruf diftong ai dan au semestinya ditulis ay dan aw bukan ai dan au. Sebab bila ki tulis ai dan au akan terbaca: a-i dan a-u karena aksara kaganga tunduk terhadap bunyi.
Ada yang beralasan didalam hurup kaganga menggunakan anak huruf ai dan au. Itu hanya ketidak-telitian kita menuliskan anak huruf tekelingay (ay) dan tekelungaw (aw). Coba kita tulis ay dan aw bukan ai dan au pasti anak huruf tekelingay akan terbaca ay (ay) dan anak huruf tekelungaw akan terbaca aw (aw).
Contoh kata:
1. Kuwasa, bukan kuasa
2. Duniya, bukan dunia
3. Lawok, bukan laok
4. Sampay, bukan sampai
5. Kekalaw, bukan kekalau
6. Dsb.
C. Dalam penulisan bahasa lampung, saya lebih mengutamakan bahasa lampung yang tidak memakay huruf doubel konsonan. Karena bahasa lampung yang seperti ini lebih mudah diterima dan dicerna oleh semua klan atau khalayak ramai. Kalaupun dalam keseharianku menggunakan bahasa lampung bersabdu atau doubel konsonan.
Contoh kata:
1. Lappung, ditulis lampung
2. Kakkah, ditulis kekah
3. Sukkan, ditulis sungkan
4. Pissan, ditulis pinsan
5. Babbay, ditulis bebay
6. Mulli, ditulis muli
7. Dsb.
D. Dalam penulisan bahasa lampung, saya lebih memilih kata dasar yang utuh ketimbang kata dasar yang hasil penyingkatan. Karena ini, orang akan lebih cepat mengerti dan memahami tulisan kita.
Contoh kata:
1. Pemak, seharusnya dapok mak
2. Gohsan, seharusnya goh resan
3. Lahapi, seharusnya ulah api
4. Mangedok, medok seharusnya mak ngedok
5. Dsb.
E. Saya lebih memilih kata dasar pertama dibandingkan kata dasar hasil dari perubahan subdialek.
Contoh kata:
1. Pikir, bukan piker, peker
2. Munih, bukan muneh, moneh
3. Pilih, bukan pileh, peleh
4. Kirim, bukan kirem, kerem
5. Dsb.
F. Bagi pengguna dialek nyow bila membaca atau mengutip tulisan saya, tidak perlu merubah tulisan cukup baca sesuai dengan pelafazan lidah bahasa dialek nyow.
1. Bila huruf vokal suku kata terakhir berupa huruf a (a) maka dibaca ow (ow).
Contoh:
-segala dibaca segalow
- haga dibaca hagow
- mata dibaca matow
- dsb.
2. Bila huruf vokal suku kata terakhir berupa huruf u (u) maka dibaca ew (ew).
Contoh:
- niku dibaca nikew
- sapu dibaca sapew
- latu dibaca latew
- dsb.
3. Bila suku kata terakhir berupa huruf vokal i (i) maka dibaca ey (ey).
Contoh:
- muli dibaca muley
- bumi dibaca bumey
- biji dibaca bijey
- dsb.
4. Bila huruf vokal ditengah suku kata terakhir berupa hurup o (o) maka dibaca e (e).
Contoh:
- sigor dibaca siger
- pedom dibaca pedem
- relom dibaca relem
- dsb.
G. Bagi subdialek Komering, bila huruf vokal suku kata pertama berupa hurup e (e) maka dibaca o (o).
Contoh:
- mengan dibaca mongan
- regoh dibaca rogoh
- demon dibaca domon
- dsb.
H. Untuk menjaga eksistensi huruf r (ra) kaganga yang mampu bertahan hidup berabad-abad lamanya maka saya tetap memakainya didalam penulisan dibandingkan menggunakan huruf gha/kha yang belum lama diperkenalkan dalam aksara bahasa lampung. Karena huruf ra (baca: kha/gha) mampu bertahan hidup dan menjawab berbagai tantangan serta memenuhi segala kebutuhan dalam berliterasi berbahasa lampung. Sedangkan huruf ra (baca: ra) konvensional didalam bahasa dan aksara lampung tidak ada, yang ada adalah huruf ra (ra) yang berbunyi kha/kha. Disini saya ingin tegaskan kembali bahwa bukan orangnya yang tidak mengenal huruf itu tetapi bahasa lampung itu sendiri yang tidak mengenalnya. Untuk saat ini huruf apa yang tidak bisa dilapazkan oleh masyarakat hulun lampung, semua bisa apapun bahasa dan aksaranya.
Disamping itu penulisan huruf ra(baca: kha/gha) didalam huruf latin mampu menjembatani berbagai kepentingan dari bermacam dialek dan subdialek bahasa lampung menjadi satu warna. Bayangkan sekarang ini, banyak sekali orang menulis hanya untuk menggantikan huruf ra (baca: kha/gha) dengan mengkonversikan berbagai huruf. Mulai dari huruf r, rh, ch, kh, gh, gr, q, qh dan bahkan xh. Apakah ini tidak lebih membingungkan? Hadeuh, induh kidah.
Akhirnya sampai juga dipenghujung. Ini hanya sekedar unek-unek dan bentuk kepedulian serta harapan saya. Semoga apa yang saya tuangkan disini ada manfaat dan menjadi perhatian kita semua. Kita akan lebih mencintai dan bangga dengan apa-apa yang kita miliki sendiri. Kita cinta budaya dan adat istiadat serta bahasa kita yaitu bahasa lampung.
Tabik.
Jakarta, 20 januari 2018